Sumatera bagian barat Minangkabau sejak lama dikenal punya tradisi kuat soal emas. Sejak dahulu kekayaan sumber daya emas serta tradisi masyarakatnya yang lekat dengan emas tak lain karena memang Minangkabau terkenal sebagai salah satu penghasil emas terbesar di Nusantara.
Menurut catatan dari William Marsden dalam The History of Sumatera (1811) menulis bahwa di abad ke-19, Padang menerima paling tidak 10 ribu ons emas dari tambang-tambang di pedalaman. Jumlah tambang emas di pedalaman Minang itu pun tak kepalang banyaknya. Jumlahnya ditaksi lebih dari 1.200 tambang dengan nilai ditaksir mencapai 1 juta gulden.
Menurut Verbeek (1877), salah satu sebab VOC tergiur pada Sumatra adalah karena emasnya. Sejak 1666, VOC mencari segala cara agar bisa membangun markas di Padang. Tujuannya tentu saja untuk memonopoli emas dan juga lada dari pedalaman. Pada 1670, VOC bahkan memutuskan berinvestasi besar-besaran pada penambangan emas dengan teknologi Eropa di Salido.
Sebelumnya, tambang ini hanya diusahakan oleh pribumi. Untuk keperluan itu, VOC mengutus Visscher serta delapan penambang Eropa. Hasil awalnya cukup bagus. Pada 1675, Batavia menerima emas dan perak senilai 10 ribu gulden dari sana.
Para penambang dari dua abad silam menggunakan alat-alat sederhana, seperti dulang, cangkul, dan ijuk. Untuk memisahkan butiran emas dari pasir, lumpur, atau kuarsa, mereka hanya menggunakan air. Dari penambang, emas mentah akan diolah oleh perajin-perajin bumiputra menjadi serbaneka perhiasan, baik yang dipakai langsung maupun penghias kostum dan senjata.
Mandi Sambil Mencari Emas
Meski tambang-tambang emas tradisional makin berkurang, namun hingga saat ini tradisi mendulang emas masih dilakukan oleh masyarakat di Nagari Sisawah, Kecamatan Sumpur Kudus, Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat. Tradisi itu adalah turun ke Sungai Batang Sumpur Lubuk Tasapik, bukzan sekadar untuk mandi, melainkan yang lebih utama yaitu mendulang emas.
Warga Nagari Sisawah, mulai dari anak-anak hingga orang tua, sering mencari emas di sungai tersebut secara tradisional dengan cara mendulang. Alat dulangnya terbuat dari kayu berbentuk bulat dan biasanya disebut “jae”. Selain itu, ada sekop untuk mengeruk pasir atau batok kelapa yang dipotong agar bisa mengambil pasir dari sudut tersempit. Saban hari, rata-rata mereka mendapatkan dua hingga tiga buncis emas. Buncis merupakan satuan berat untuk butir-butiran kecil yang didapat dari mendulang.
Per buncis harganya Rp 43 ribu. Jika mendapatkan 2,5 buncis emas, itu setara dengan satu gram emas murni. Meskipun kecil, hasil itu cukup untuk kebutuhan sehari-hari para warga yang mayoritas berprofesi sebagai petani. Mereka mendulang secara tradisional agar sungai jernih tersebut tetap terjaga dan bisa menghidupi keluarganya secara turun-temurun.
Tradisi tambang emas yang kuat juga membuat masyarakat Minang. Dalam pernikahan, seserahan serta pakaian adat pengantin Sumatera Barat juga kental dengan nuansa emas. Pakaian adat wanita Minang yang sudah menikah, atau disebut Bundo Kanduang. Perhiasan emas di pakaian adat berupa gelang, kalung, anting-anting, ikat pinggang, cincin bakal diwariskan ke generasi setelahnya turun temurun.
Selain itu, tercatat dalam sejarah bahwa kaum perempuan Minang yang pertama kali berkorban menyumbangkan emas dan perhiasan lainnya untuk membeli pesawat terbang jenis Avro Anson demi Kemerdekaan Indonesia. Mereka tanpa sungkan dan pikir panjang menyumbangkan liontin, perak hingga emas mulai emas anting, kalung, gelang bahkan cincin kawin demi membantu kemerdekaan.
Rahasia Sukses Saudagar Minangkabau
Selain tradisi emas yang melekat, masyarakat Minang juga punya kebiasaan bekerja keras.Tradisi bekerja keras dipegang teguh masyarakat Minang yang umumnya perantau dan pedagang, sesuai petuah nenek moyang mereka ‘Asa hilang dua terbilang, kalau tak berhasil biar nyawa berpulang’.
Orang Minangkabau benar-benar selektif dalam memilih pekerjaan di tanah rantau. Mereka lebih menyukai kerja bebas. Dan opsi pekerjaan terbaik adalah berdagang. Lewat berdagang mereka dapat bebas bertindak menjadi tuan rumah atas diri sendiri.
Dalam proses menjadi sukses mereka juga tak segan menerapkan hidup hemat dan rajin menabung. Bertambahnya pendapatan tidak membuat mereka menjadi lebih boros. Sebab, mereka punya pandangan kalau dirinya belum sukses, sehingga tidak masalah terlihat miskin ketika merintis usaha. Mungkin ini yang membuat mereka kental dengan stereotip pelit di masyarakat.
Tingkah laku seperti ini juga yang kemudian bertahan lama. Ketika sudah sukses mereka lebih memilih hidup sederhana dan mengalihkan uangnya untuk hal-hal produktif, seperti melebarkan sayap bisnis dan juga investasi.
Hal positif inilah yang harus kita contoh dari kesuksesan masyarakat Minang, Sob! Sobat juga bisa memulai investasi emas di Treasury, salah satunya dengan mengoleksi koin emas. Treasury punya koleksi Koin Nusantara terbuat dari Emas 24 Karat dan tersedia dalam dua edisi: Koin Nusantara Edisi 1 Dinar Padang (4,4 Gram) dan Koin Nusantara Edisi 0,5 Dinar Lombok (2,2 Gram).
Khusus Koin Nusantara Edisi 1 Dinar Padang terinspirasi dari Masjid Raya Sumatera Barat di Kota Padang dan keindahan kain tenun Pandai Sikek. Atapnya yang berbentuk gonjong, mencerminkan bentuk rumah adat Minang, yaitu Rumah Gadang yang banyak dijumpai di Sumatera Barat. Sedangkan motif Pandai Sikek yang merupakan warisan budaya suku Minangkabau yang berasal dari zaman Kerajaan Sriwijaya juga terukir pada Koin Nusantara ini.
Koin Nusantara juga dilengkapi sertifikat resmi yang akan diterbitkan oleh PT Untung Bersama Sejahtera selaku produsen bersama dengan Treasury sebagai jaminan keaslian bagi para Pengguna Treasury. Menarik kan?