Selama periode perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia, menjelang dan sesudah Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, pemerintahan yang baru terbentuk di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta dihadapkan pada tantangan besar dalam hal pembiayaan. Dalam upaya untuk mendanai perjuangan melawan penjajah Belanda dan menjaga kelangsungan Republik yang baru lahir, pemerintahan RI pada waktu itu memutuskan untuk menjual emas.
Pada awal kemerdekaan, kondisi ekonomi Republik Indonesia sangat rapuh. Belum ada sistem ekonomi yang mapan, dan sumber daya yang tersedia terbatas. Dalam situasi ini, pemerintah Indonesia memutuskan untuk menggunakan cadangan emas yang dimilikinya sebagai salah satu sumber pembiayaan untuk memenuhi kebutuhan perjuangan. Langkah ini diambil sebagai respons terhadap kebutuhan mendesak untuk dana guna membiayai kegiatan militer, termasuk membekali pasukan dan menyediakan logistik perang.
Pada bulan-bulan pertama setelah Proklamasi Kemerdekaan, pemerintah Republik Indonesia menjual sejumlah cadangan emas yang dimilikinya. Dana yang diperoleh dari penjualan emas ini digunakan untuk membiayai berbagai kegiatan perjuangan, seperti pengadaan senjata, gaji para pejuang, dan berbagai keperluan penting lainnya. Meskipun penjualan emas dapat memberikan sumbangan dana yang signifikan, tetapi jumlah emas yang tersedia juga terbatas.
Perjuangan Selundupkan Emas
Cara lain untuk mendapatkan pendapatan adalah dengan menjual emas. Emas-emas itu diperoleh dari tambang di Cikotok (Banten Selatan), Aceh, dan Rejang Lebong (Bengkulu). Tambang-tambang itu tadinya milik Belanda, lalu dikuasai oleh Jepang, kemudian diambil alih oleh Republik. Aset-aset itu masuk dalam kekayaan negara dan berada dalam naungan Kementerian Kemakmuran.
Namun pengambilalihan tambang itu membutuhkan biaya. Pemerintah meminjam kepada Bank Indonesia sebesar f.150.000 uang Jepang. “Pinjaman tersebut digunakan untuk pengadaan bahan pangan bagi 3000 karyawan tambang emas Cikotok, di samping pembayaran gaji dan biaya pengeluaran lainnya,” catat Mundardjito dalam buku 50 Tahun Bank BNI: Melangkah ke Masa Depan dengan Kearifan Masa Lalu.
Emas-emas dari tambang dibawa ke pabrik pengolahan emas di Jakarta. Ketika ibu kota Republik pindah ke Yogyakarta pada Januari 1946, gumpalan biji emas (bullion) turut dibawa ke Yogyakarta untuk menghindari perampasan tentara Belanda. Belanda memerlukan emas untuk menambah cadangan devisa dan menjamin nilai tukar mata uangnya di daerah Republik.
Sisa-sisa emas batangan yang dimiliki pemerintah Hindia Belanda sempat diselamatkan ke Australia dan Afrika Selatan. Bagi pemerintah Republik, emas-emas itu dapat berguna untuk ditukar dengan kebutuhan mendesak. Sebab kala itu Republik belum mempunyai mata uang sendiri. Mundardjito mencatat aset logam mulia milik Republik yang dipindahkan itu sebanyak 82 peti berisi 5.015,365 kg bullion emas dan 560.451,050 kg perak murni.
“Diangkut ke Yogyakarta dengan kereta api yang menjemput di Pegangsaan untuk diserahkan ke PBI guna keperluan perjuangan,” terang Mundardjito. Sesampai di Yogyakarta, aset berharga dibawa ke kantor Bank Indonesia di Jalan Setiodiningratan No. 4 dengan mobil tahanan. Kelak aset itu digunakan untuk pembelian senjata dan pesawat.
Selama ibu kota di Yogyakarta, suplai emas dari Cikotok untuk Republik berjalan secara rahasia. Republik juga secara teratur mengirim dana untuk operasional tambang Cikotok. Tapi agresi militer Belanda ke sejumlah wilayah Republik pada Juli 1947 menghentikan aktivitas penambangan emas Cikotok. Mereka juga menarget tambang Cikotok. Tapi sebelum tentara Belanda datang, para buruh tambang telah menghancurkan mesin-mesin tambang dengan merendamnya ke air.
Penyelamatan aset emas Republik juga terjadi pada agresi militer Belanda kedua, 19 Desember 1948. Belanda memang berhasil menduduki Yogyakarta. Tapi mereka gagal mendapatkan emas batangan milik Republik. Emas seberat tujuh ton bercap Bank Negara Indonesia keluar Yogyakarta melalui lapangan terbang Maguwo.
Untuk menyamarkan emas dari pandangan orang, pegawai BNI menggunakan truk dan gerobak sapi ke Maguwo. Emas itu juga ditutup oleh blarak (daun kelapa). Emas itu berhasil sampai ke Filipina, lalu dijual ke Kasino di Makau. Dari penjualan itu, Republik mendapat dana sekira Rp140 juta. Angka itu diperoleh dari perhitungan harga 5 gram emas murni ketika itu yang mencapai Rp10. “Hasil penjualan digunakan untuk membiayai perjuangan Republik Indonesia di luar negeri, baik melalui perwakilan-perwakilannya termasuk di PBB,” tulis Aboe Bakar Loebis dalam Kilas Balik Kenangan, Pelaku, dan Saksi.
Misteri 57 Ton Emas Soekarno
Soal harta kekayaan Presiden Pertama Indonesia, Soekarno sering diperbincangkan. Menjabat sebagai orang nomor satu di RI selama 30 tahun membuat Soekarno menyimpan dana revolusi senilai Rp 55 triliun dan dipercaya memiliki 57 ton emas yang disimpan di bank Swiss. Harta ini didapat dari sumbangan sejumlah raja-raja Nusantara untuk merebut kemerdekaan.
Meski kabar itu masih menjadi misteri dan belum terungkap keberadaannya, namun seluruh emas tersebut konon dipinjam Presiden AS John F. Kennedy pada 1963 untuk pembangunan Amerika Serikat.
Meski begitu, seluruh upaya pemburuan harta itu sampai sekarang tidak membuahkan hasil. Artinya, ada dua kemungkinan: harta tersebut memang benar tidak ada atau tersimpan di lokasi tertentu. Namun, mengacu pada data-data sejarah, tampaknya Soekarno tidak memiliki harta sebanyak itu.
Fakta sejarah memaparkan bahwa selama menjadi Presiden Soekarno hidup kesulitan. Hal ini diungkap oleh Soekarno sendiri dalam wawancaranya kepada jurnalis AS, Cindy Adams. Soekarno menyebut kalau gajinya selama jadi presiden hanya US$ 220. Dia pun tidak memiliki rumah dan tanah. Karenanya, wajar apabila dia hidup dari istana ke istana yang dimiliki negara.
Bahkan, tutur Soekarno, dia pernah dibelikan piyama oleh duta besar saat kunjungan ke luar negeri. Duta besar itu merasa kasihan karena Sukarno memakai baju tidur yang sudah robek. “Adakah Kepala Negara yang melarat seperti aku dan sering meminjam-minjam dari ajudannya?,” kata Sukarno kepada Cindy Adams dalam Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (1964).
Namun keyakinan bahwa uang dan emas itu ada diyakini atas landasan adanya pengumpulan dana yang didasarkan pada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu). Perpu ini antara lain mengatur kewajiban semua perusahaan negara menyetorkan sebagian dari keuntungannya kepada pemerintah.
Mantan Menteri Negara Bidang Khusus Ekonomi era Presiden Soekarno bernama Bugi Supeno menyatakan bahwa Dana Revolusi bukan bualan, karena dia adalah pengumpulnya. Dirinya tercatat sebagai salah seorang menteri yang resmi ditunjuk oleh Bung Karno untuk memobilisasi dana. Dalam pengakuannya, Bugi masih menyimpan surat keputusan penujukkan. Surat itu bertanggal 10 Maret 1965.
Ketika itu, jelas Bugi, ada ketetapan Presiden tentang Subversi untuk pelanggaran ekonomi. Misalnya melakukan penyelundupan. Kebanyakan adalah pedagang keturunan China dan India, dirinya pun mendatangi mereka untuk memberitahu pelanggaran hukum. “Ancamannya, mereka bisa dihukum mati dengan pasal Subversif. Tapi saya bilang, bisa juga damai asal bersedia menyetorkan uang. Biasanya mereka memilih damai.” paparnya dalam wawancara dengan Majalah Gatra berjudul Penyelundupan Sampai Hwa Hwe.
Banyak pihak yang percaya bahwa Dana Revolusi benar-benar ada. Menurut sebagian orang, Bung Karno pernah menyimpan harta senilai jutaan dolar AS di sejumlah bank di Eropa sebelum jatuh dari kekuasaannya. Harta itu diperkirakan senilai 135 juta hingga 15 miliar dolar yang terdiri dari Dana Revolusi untuk membiayai anti-imperialisme di Irian Barat dan Kalimantan, warisan kerajaan-kerajaan Nusantara yang dikumpulkan Soekarno, atau yang ditemukan pada zaman penjajahan.
Pada era 1980-an, rumor soal dana revolusi menarik minat sejumlah menteri pada masa pemerintahan Presiden Soeharto. Mantan menteri Moerdiono pernah membentuk Tim Operasi Teladan. Tim ini dipimpin oleh Marsekal Pertama Kahardiman, waktu itu Kepala Tim Pemeriksa Pusat (Teperpu). Hasilnya ternyata nihil, emas lantakan dan uang 450 juta dolar yang diharapkan tak ditemukan.
Namun Pada 1987, tim ini berhasil menyelamatkan aset negara. Misalnya Bank Indonesia telah menerima dari dana tersebut sekitar 550.000 dolar dan 1,5 miliar, 250.000 dolar di Bank Guyerzeller Zumont dan 250.000 dolar di Bank Daiwa Securities. “Uang itu semua masuk ke kas negara sejak 1 Oktober 1987,” kata Moerdiono.
Tim itu juga memanggil sejumlah tokoh untuk ditanyai tentang Dana Revolusi. Di antaranya mereka adalah eks pejabat keuangan di Departemen Luar Negeri Husbin Mutahar, eks bendahara Badan Pusat Intelijen (BPI) Mulyadi Milono. Jawaban mereka mengejutkan, misalnya Mutahar yang mengetahui adanya dana sebesar 250.000 dolar di Bank Guyerzeller Zurmont, Swiss. Dia juga tahu bahwa Hartono yang adalah orang kepercayaan Soebandrio menyimpan dana 250.000 dolar di Baik Daiwa Securities.
Menurut Hartono, Soebandrio dalam status tahanan menandatangani surat kuasa kepada Kolonel Her Tasning untuk mengambil uang di kedua bank tersebut. Semua dana yang berhasil disita mungkin sudah termasuk dalam angka Dana Revolusi.
Anak angkat Bung Hatta, Des Alwi yang juga terkenal sebagai pemburu benda bersejarah Indonesia di luar negeri sempat memeriksa dana tersebut di luar negeri. Menurut Des, pencarian Dana Revolusi itu sebenarnya sia-sia saja. “Tak masuk akal ada duit sampai triliunan rupiah,” katanya.
Apalagi ketika itu negara Indonesia sedang bangkrut. Utang kiri kanan. Selain itu dirinya juga tak tahu menau tentang kabar Tim Opsus yang berhasil mengamankan 100 kilogram emas dan 400 kilogram perak. “Saya tak pernah mendengar itu. Setahu saya, di dunia tak ada orang yang menyimpan emas di bank,” kata Des.
Akhirnya sesuai kesaksian Suhardiman di DPR pada Desember 1987, Moerdiono dan Jaksa Agung Singgih lantas mengatakan bawah pelacakan Dana Revolusi dihentikan. Tetapi nampaknya perburuan Dana Revolusi masih terus dilakukan.
Saatnya Investasi Emas, Mulai dari Rp 5.000-an
Sobat Treasury, sumbangsih dan peran emas sejak dahulu memang tak diragukan lagi, dan kamu juga bisa membeli emas dengan cukup mudah dan murah lho!. Kamu bisa membelinya secara online melalui aplikasi smartphone. Treasury menjadi platform yang tepat bagimu untuk investasi emas. Harga logam mulia yang ditawarkan sangat terjangkau, mulai dari Rp5 ribu.
Jangan khawatir dengan legalitas dan keamanan Treasury. Treasury, merupakan pedagang emas fisik digital pertama yang berlisensi BAPPEBTI. Transaksi digital terjamin aman karena telah terdaftar di KOMINFO dan berpartner dengan ICH untuk menjamin keamanan transaksi pengguna. Treasury Merupakan anggota dari ICDX yang merupakan lembaga kliring serta bursa berjangka. Transaksinya pun aman karena merupakan anggota dari ICDX yang merupakan lembaga kliring serta bursa berjangka yang diawasi oleh BAPPEBTI. Fitur-fitur lainnya dari Treasury pun nggak kalah menarik. Kamu bisa menumbuhkan asetmu s.d 9% p.a di fitur Panen Emas atau bisa juga menjual sementara emasmu di Jamimas dengan biaya rendah. Beli perhiasan dan koin emas Koin Nusantara pun bisa kamu lakukan di sini! Menarik banget, kan? Yuk investasi emas di Treasury sekarang!